Warak ngendok (bahasa Jawa: warak ngendhog) merupakan mainan yang selalu dikaitkan dengan perayaan Dugderan, suatu festival di Semarang yang diadakan di awal bulan Ramadan untuk memeriahkannya, sekaligus sebagai upaya dakwah.
Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan beberapa
binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di
Semarang: Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina),
tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki
kambing (Jawa).
Kata Warak sendiri berasal dari bahasa arab “Wara’I” yang
berarti suci. Dan Ngendog (bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala
yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara
harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga
kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala
di Hari lebaran.
Warak ngendog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud
menyerupai hewan. Jika dibandingkan dengan bentuk Warak Ngendog yang ada
sekarang ini, Warak Ngendog yang asli terbuat dari gabus tanaman
mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus.
Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti
filosofis mendalam. Dipercayai bentuk lurus itu menggambarkan citra
warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada
perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak
Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di
Kota Semarang. Warak ngendok berwujud makhluk berkaki empat, menyerupai
macan/singa tetapi langsing. Tubuhnya diberi kertas berwarna-warni dan pada kakinya diberi roda supaya dapat ditarik.
WARAK NGENDOG, binatang
mitologis ini digambarkan sebagai simbol pemersatu tiga etnis mayoritas
yang ada di Semarang Bagian-bagian tubuhnya terdiri dari Naga (Cina),
Buraq (Arab) dan Kambing (Jawa). Hewan imajiner ini biasanya dijadikan
maskot dalam festival Dugderan yang dilaksanakan beberapa hari sebelum
bulan puasa. Selama ini Warak Ngendog dipercaya sebagai buatan
waliyullah.
Namun pada kenyataannya, belum ada yang
menyebutkan secara konkrit siapa sebenarnya penciptanya. Ia bahkan
menjadi misteri panjang, hingga detik ini. Sejarahwan Semarang Nio Joe
Lan, dalam karya klasiknya “Riwajat Semarang” (1936), dan Amen Budiman
dalam serialnya “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” (1976), pun tidak
pernah menyebut siapa pencipta warak dan waktu penciptaannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amen Budiman, diperkirakan
binatang rekaan yang menjadi maskot acara itu mulai dikenal masyarakat
pada akhir abad ke-19. Asumsinya ini dilihat dari kemunculan mainan
warak ngendog dalam setiap perayaan megengan atau dugderan. Tepatnya
pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Semarang periode 1881-1897, Ario
Purboningrat.
Dalam esainya, Budayawan Semarang,
Djawahir Muhammad, pun sependapat dengan pendapat Amen. Menurut
Djawahir, kemunculan warak sebagai benda budaya atau karya seni kriya
khas masyarakat Semarang bisa didekati secara ilmiah, dengan menunjuk
penampilan kali pertama Pasar Malam Sentiling di Mugas, yakni pada tahun
1936. Pada saat itu, keramaian tersebut digelar untuk menyambut ulang
tahun ke-100 Ratu Wilhelmina. Di masyarakat, tersebar pula folklor Warak
Ngendok sebagai binatang serupa badak yang ditemukan oleh warga. Saat
itu sejumlah warga tengah melakukan babat alas di hutan yang
kini menjadi Kampung Purwodinatan. Dari cerita tersebut, kemudian warga
di kampung itu banyak yang membuat kerajinan Warak Ngendog dan dijual
pada saat Dugderan.
Terlepas dari siapa pembuat pertama,
Warak Ngendog memiliki makna filosofi yang selalu relevan sebagai
pedoman hidup manusia pada zaman apapun. Wujud makhluk rekaan yang
merupakan gabungan tiga simbol etnis mencerminkan persatuan atau
akulturasi budaya di Semarang. Konon ciri khas bentuk yang lurus dari
Warak Ngendog menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus,
dan berbicara apa adanya, sehingga tak ada perbedaan antara ungkapan
hati dengan ungkapan lisan.
Kata
Warak berasal dari bahasa Arab yang berarti suci, sedangkan kata
ngendog atau telur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat
seseorang setelah menjalani proses suci berpuasa. Hakekatnya, hewan ini
merupakan simbol nafsu manusia. Badannya yang bersisik, mulutnya
menganga dan bertaring, serta bermuka seram menggambarkan nafsu yang
harus dikalahkan dengan puasa. Sayangnya, seiring perkembangan zaman,
wujud Warak Ngendog dibuat secara asal-asalan tanpa berpedoman dari
pakem filosofisnya. Barangkali para pengrajin berusaha mengotak-atik
warak tersebut agar terkesan berbeda, namun hal ini justru menghilangkan
keelokan makna simbol-simbol di tubuh Warak Ngendog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar