Kamis, 05 Desember 2013

Warak ngendok (Mitologi Indonesia)

Warak ngendok (bahasa Jawa: warak ngendhog) merupakan mainan yang selalu dikaitkan dengan perayaan Dugderan, suatu festival di Semarang yang diadakan di awal bulan Ramadan untuk memeriahkannya, sekaligus sebagai upaya dakwah. Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang: Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).
Kata Warak sendiri berasal dari bahasa arab “Wara’I” yang berarti suci. Dan Ngendog (bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran.
Warak ngendog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud menyerupai hewan. Jika dibandingkan dengan bentuk Warak Ngendog yang ada sekarang ini, Warak Ngendog yang asli terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus.
Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis mendalam. Dipercayai bentuk lurus itu menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. Warak ngendok berwujud makhluk berkaki empat, menyerupai macan/singa tetapi langsing. Tubuhnya diberi kertas berwarna-warni dan pada kakinya diberi roda supaya dapat ditarik.

WARAK NGENDOG, binatang mitologis ini digambarkan sebagai simbol pemersatu tiga etnis mayoritas yang ada di Semarang Bagian-bagian tubuhnya terdiri dari Naga (Cina), Buraq (Arab) dan Kambing (Jawa). Hewan imajiner ini biasanya dijadikan maskot dalam festival Dugderan yang dilaksanakan beberapa hari sebelum bulan puasa. Selama ini Warak Ngendog dipercaya sebagai buatan waliyullah.
Namun pada kenyataannya, belum ada yang menyebutkan secara konkrit siapa sebenarnya penciptanya. Ia bahkan menjadi misteri panjang, hingga detik ini. Sejarahwan Semarang Nio Joe Lan, dalam karya klasiknya “Riwajat Semarang” (1936), dan Amen Budiman dalam serialnya “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” (1976), pun tidak pernah menyebut siapa pencipta warak dan waktu penciptaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amen Budiman, diperkirakan binatang rekaan yang menjadi maskot acara itu mulai dikenal masyarakat pada akhir abad ke-19. Asumsinya ini dilihat dari kemunculan mainan warak ngendog dalam setiap perayaan megengan atau dugderan. Tepatnya pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Semarang periode 1881-1897, Ario Purboningrat.
Dalam esainya, Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, pun sependapat dengan pendapat Amen. Menurut Djawahir, kemunculan warak sebagai benda budaya atau karya seni kriya khas masyarakat Semarang bisa didekati secara ilmiah, dengan menunjuk penampilan kali pertama Pasar Malam Sentiling di Mugas, yakni pada tahun 1936. Pada saat itu, keramaian tersebut digelar untuk menyambut ulang tahun ke-100 Ratu Wilhelmina. Di masyarakat, tersebar pula folklor Warak Ngendok sebagai binatang serupa badak yang ditemukan oleh warga. Saat itu sejumlah warga tengah melakukan babat alas di hutan yang kini menjadi Kampung Purwodinatan. Dari cerita tersebut, kemudian warga di kampung itu banyak yang membuat kerajinan Warak Ngendog dan dijual pada saat Dugderan.

Terlepas dari siapa pembuat pertama, Warak Ngendog memiliki makna filosofi yang selalu relevan sebagai pedoman hidup manusia pada zaman apapun. Wujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan tiga simbol etnis mencerminkan persatuan atau akulturasi budaya di Semarang. Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya, sehingga tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan.
Kata Warak berasal dari bahasa Arab yang berarti suci, sedangkan kata ngendog atau telur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah menjalani proses suci berpuasa. Hakekatnya, hewan ini merupakan simbol nafsu manusia. Badannya yang bersisik, mulutnya menganga dan bertaring, serta bermuka seram menggambarkan nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa. Sayangnya, seiring perkembangan zaman, wujud Warak Ngendog dibuat secara asal-asalan tanpa berpedoman dari pakem filosofisnya. Barangkali para pengrajin berusaha mengotak-atik warak tersebut agar terkesan berbeda, namun hal ini justru menghilangkan keelokan makna simbol-simbol di tubuh Warak Ngendog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar